Perbedaan dalam Perdamaian
Hari rabu menjelang subuh tepatnya 25 Nopember 2020 saat saya bermalam di Hotel Manandang Waikabubak Sumba Barat, terbangun dari tidur saya karena mendengar suara tarhim dari Masjid yang agak sedikit jauh dari hotel saya bermalam, syukur karena adanya tarhim itu maka sholat subuh saya tidak kesiangan tapi lebih dari itu saya sedikit heran dan kagum, kenapa yang konon banyak diceritakan orang bahwa Waikabubak yang mayoritas penduduknya memeluk agama selain Islam tidak menganggap masalah suara tarhim yang keluar dari corong masjid yang berada di pusat kota Waikabubak dan walaupun saya berada di daerah yang mayoritas non muslim tapi serasa seperti berada di kampung halaman saya yang memang mayoritas berpenduduk muslim.
Kekaguman saya berikutnya adalah ketika sholat subuh usai dilaksanakan dan para jamaah sudah turun meninggalkan masjid terdengar dari corong gereja tertua di Waikabubak tentang penyampaian firman Tuhan yang disampaikan cukup santun dan menarik layaknya pengajian di kalangan umat Islam, saya tidak mengerti apakah penyampaian itu langsung didepan mikrofon atau rekaman yang jelas suaranya begitu gamblang sampai di hotel saya bermalam dan salah satu pesannya yang saya ingat adalah ajakan untuk hidup baik dan mencari berkat Tuhan. Fakta ini ternyata terjadi lagi di hari kedua saat saya berada di hotel ini yaitu terdengarnya suara tarhim dilanjutkan sholat subuh di masjid setelah itu terdengar penyampaian firman Tuhan dari tower gereja, ketika saya bertanya pada petugas hotel, "semenjak kapan dua hal ini ada" jawabnya sudah agak lama.
Ada pelajaran menarik dari fomena yang ada di dua tempat ibadah tadi (masjid dan gereja) yaitu, Pertama, saling menghargai keberadaannya masing-masing, karena kaum muslimin harus melaksanakan ibadah yang paling pagi maka corong masjid disilahkan untuk menyuarakan tarhim terlebih dahulu agar tidak terjadi keterlambatan dalam melaksanakan sholat subuh dan ketika sholat subuh selesai ada waktu hening sejenak kemudian disiarkan suara dari gereja yang isinya tentang firman-firman Tuhan.
Kearifan luar biasa dalam kontek ini, yaitu saling berbagi dan menata waktu dalam mengajak umatnya untuk mendekatkan diri pada Tuhan, tentunya ini dapat menjadi sarana penyadaran bagi penjaga umat yang masih ribut dalam mengatur pengeras suara pada rumah ibadah yang uniknya kadang-kadang ributnya sampai dibawah ke ranah hukum dan lebih lucu lagi bila itu terjadi di kalangan penganut agama yang sama.
Dalam hal pengeras suara ini, tidak jarang masyarakat sebenarnya merasakan kebisingan agak terlalu yang berasal dari rumah ibadah, namun protes tidak mungkin dilakukan kendatipun yang protes menganut agama tersebut karena takut direspon negatif dan tentunya akan semakin runyam lagi ketika yang protes itu berasal dari penganut agama yang berbeda.
Kedua, Fenomena pengeras suara yang berasal dari dua tempat ibadah yang berbeda itu, memberikan pelajaran tentang bagaimana mayoritas dan minoritas umat beragama harus didudukkan, terbukti walaupun dari segi jumlah umat Islam lebih kecil tapi karena waktu beribadah harus ditunaikan lebih dahulu maka pengeras suaranya dijinkan untuk menggema lebih awal, dan ketika saya tanya pada seorang penduduk asli Waikabubak yang beragama non Islam tentang adanya suara melalui pengeras yang ada di masjid setiap pagi menjelang sholat subuh, dia tidak merasa terganggu karena suaranya dalam batas kewajaran dan disiarkan dari tempat yang tinggi, dengan adanya suara itu mereka bisa bangun tepat waktu di pagi hari kemudian bisa mengawali pekerjaan atau berolah raga.
Ketiga, Memberikan pengayaan tentang pemahaman dari beberapa agama, karena sama-sama disiarkan melalui pengeras suara, maka masyarakat Islam maupun Kristen yang ada di Kota Waikabubak bisa saling mendengarkan materi yang sedang disampaikan melalui pengeras suara masjid maupun gereja, dengan sama-sama mengerti tentang materi dan nilai-nilai ajaran agama-agama itu, maka sesuai pepatah "tak kenal maka tak sayang" sehingga dengan memahami ajaran agama-agama akan mengikis sakwasangka yang terlalu berlebihan dalam melihat agama lain.
Saling tidak paham inilah yang sering menjadi pemicu kerusuhan antar umat beragama padahal umumnya agama mengajarkan tentang hidup damai, selamat, cinta kasih, sehingga pembacaan firman-firman Tuhan di setiap pagi di gereja memberikan rasa damai bagi umat Kristen dan akan menjadi bekal dalam mengarungi kehidupan di hari itu, begitu juga dengan pembacaan ayat suci al Qur'an yang juga merupakan firman Tuhan akan memberikan rambu-rambu bagaimana harus melaksanakan hidup dengan baik karena sejatinya apa yang dilaksanakan dalam kehidupan adalah ibadah, dengan sama-sama melaksanakan kehidupan yang dilandasi keluhuran nilai-nilai agama idealnya akan terjadi kontak sosial yang damai rukun dan humanis karena itulah hakekat ajaran semua agama.
Namun yang perlu diperhatikan dalam penyiaran ini adalah hendaknya materi yang akan disampaikan benar-benar dikaji dan dipertimbangkan secara mendalam karena tidak sedikit para pengikut suatu agama akan bersikap agresif dan beringas serta tidak toleran terhadap penganut agama yang berbeda setelah mendengarkan siaran (ceramah) agama, sehingga pesan-pesan yang harus disampaikan bukan semakin menjauhkan para penganut agama yang berbeda-beda tapi sebaliknya justru menyatukan para penganut agama dengan salah satu caranya adalah menyadarkan masyarat bahwa kita ini sama-sama umat beragama dan yang harus dihadapi adalah pihak-pihak yang anti agama.
Akhirnya perbedaan adalah suatu kenyataan maka bila penyikapannya baik, perbedaan itu akan menjadi kekuatan besar bagi suatu komunitas, namun sebaliknya bila salah penyikapannya maka perbedaan akan menjadi malapetaka yang tidak saja bisa membunuh manusia tapi lebih dari itu akan bisa membinasahan tatanan hidup bersama.