Merdeka Belajar dan Implikasinya pada Kebijakan Diklat
Merdeka Belajar dan Implikasinya pada Kebijakan Diklat
Oleh: Wachidun
A.Pendahuluan
Dibutuhkan keberanian dan terobosan yang kreatif untuk mengeluarkan pendidikan nasional dari kondisi yang stagnan, sedangkan negara-negara lain sudah melangkah jauh menuju pendidikan yang ideal. Dan itulah yang dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kita yang baru, Nadiem Makarim. Belum genap dua bulan menjabat, Mendikbud Nadiem Makarim sudah menggebrak dunia Pendidikan dengan idenya, Merdeka Belajar. Bahkan dia menyebut Merdeka Belajar ini merupakan permulaan dari gagasan-gagasannya yang akan diluncurkan untuk memerbaiki sistem pendidikan nasional yang terkesan monoton.
Merdeka Belajar menjadi salah satu program inisiatif Nadiem Makarim yang ingin menciptakan suasana belajar yang bahagia, baik bagi murid maupun para guru. Merdeka Belajar ini konon dilahirkan dari banyaknya keluhan orangtua pada sistem pendidikan nasional yang berlaku selama ini. Salah satunya ialah keluhan soal banyaknya siswa yang dipatok dengan nilai-nilai tertentu. Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemendikbud, Ade Erlangga, dalam Diskusi Polemik tentang Merdeka Belajar Merdeka UN, menjelaskan bahwa tujuan Merdeka Belajar ialah agar para guru, siswa, serta orangtua bisa mendapat suasana yang bahagia. Merdeka Belajar itu bahwa pendidikan harus menciptakan suasana yang membahagiakan, bahagia buat guru, bahagia buat peserta didik, bahagia buat orangtua, untuk semua umat.
Secara keseluruhan, Merdeka Belajar yang diluncurkan Nadiem terdiri atas empat isu penting, yakni penggantian format ujian nasional (UN), pengembalian kewenangan ujian sekolah berstandar nasional (USBN) ke sekolah, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang hanya satu lembar, dan naiknya kuota jalur prestasi pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) dari sebelumnya 15% menjadi 30%. Ujian nasional yang selama ini menjadi pintu gerbang bagi para pelajar di tanah air untuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi akan ditiadakan pada 2021 dan digantikan dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter. Pemberlakuan UN dianggap kurang tepat karena lebih mendorong siswa untuk menghafal bahan pelajaran, bukan memahaminya. Ujian nasional juga dianggap bisa menjadi sumber stres bagi pelajar, bahkan orangtua dan guru karena ada tuntutan pencapaian nilai yang tinggi. Keberadaan UN yang lebih mengedepankan capaian nilai akademis dinilai bertentangan dengan prinsip pendidikan itu sendiri yang juga membutuhkan aspek psikologis dan perkembangan kepribadian siswa.
Berangkat dari masalah tersebut penulis tertarik untuk mengangkat isu Merdeka Belajar dan Implikasinya terhadap Kediklatan. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberikan gambaran tentang kebijakan Merdeka Belajar dan implikasinya terhadap kediklatan. Tulisan ini diharapkan bermanfaat bagi pengambil kebijakan di Balai Diklat Keagamaan Denpasar khususnya dan Balai Diklat Keagamaan lain pada umumnya agar lebih mampu berkontribusi secara nyata dalam mendukung kebijakan Merdeka Belajar dari Mendikbud Nadiem Makarim.
B.Pembahasan
1.Kritik terhadap Kebijakan Merdeka Belajar
Tidak ada kebijakan tanpa kritik. Yang pertama adalah kritik terhadap dihapuskannya ujian nasional (UN). Menanggapi berbagai kritik dan kekhawatiran tidak adanya standar akibat penghapusan UN, Mendikbud menegaskan bahwa standar nasional tentu saja tetap ada. Namun, cara penilaian dan bentuk tesnya akan menjadi kedaulatan pihak sekolah. Hal ini karena hanya pihak sekolahlah yang mengetahui kemampuan kognisi dan perkembangan psikologis anak. Adapun perihal sekolah yang belum siap untuk membuat asesmen, mereka bisa menggunakan soal-soal dari USBN atau UN. Pada prinsipnya sekolah dipacu untuk melakukan proses adaptasi. Bagi yang belum siap dan bagi yang masih mau belajar menggunakan cara penilaian baru dipersilakan. Itu haknya sekolah. Namun, bagi sekolah-sekolah dan guru yang sudah siap, bisa melaksanakan terlebih dahulu. Pemerintah juga akan terus memberikan contoh-contoh dan pendampingan bagi sekolah-sekolah yang belum siap.
Yang kedua, kritik terhadap tripusat pendidikan. Hasil pembelajaran seperti yang dirumuskan oleh Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar dewantara, adalah dipengaruhi oleh keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sementara empat kebijakan Merdeka Belajar, yakni Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) diserahkan kepada sekolah, Ujian Nasional (UN) diubah dalam model asesmen kelulusannya, perencanaan pembelajaran disederhanakan, dan sistem zonasi penerimaan siswa baru yang fleksibel, semuanya bertumpu pada sekolah (Syaikhu Usman, 2019).
Dalam pendidikan, pelaku utama keluarga adalah orang tua, tokoh penting sekolah adalah guru, dan wakil istimewa masyarakat adalah pemerintah, baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Proyek percobaan Sekolah Keluarga seperti di Bukittinggi bisa menjadi contoh bagaimana ketiga unsur tersebut bahu-membahu meningkatkan kualitas pendidikan anak mulai dari lingkup keluarga. Dari orang tua yang mendidik karakter di rumah, guru bertugas mengajarkan pengetahuan dan ketrampilan kepada murid. Kemudian, pemerintah berfungsi mengarahkan layanan pendidikan melalui berbagai kebijakan. Tanpa penguatan pada tripusat pendidikan itu secara bersamaan, sulit mengharapkan kualitas dan karakter siswa akan meningkat secara signifikan. Pada akhirnya, gagasan Ki Hadjar Dewantara mengenai tripusat pendidikan tetap relevan untuk selalu dipertimbangkan sebagai satu kesatuan fondasi dalam berbagai rumusan kebijakan reformasi pendidikan yang sampai saat ini masih bersifat parsial.
Yang ketiga terkait dengan kondisi birokrasi pendidikan. Kebijakan pemerintah pusat yang visioner akan sia-sia bila tidak diimplementasikan oleh pemerintah daerah/dinas pendidikan yang juga visioner (Syaikhu Usman, 2019). Ada variasi yang lebar terkait kapasitas pemerintah daerah dalam mengelola layanan pendidikan. Pada awal 2018, misalnya, sebuah Lembaga penelitian di bidang Pendidikan (RISE) di Indonesia mencoba menelepon 64 pejabat dinas pendidikan kabupaten/kota yang kenaikan nilai UN-nya masuk kelompok tinggi. Berdasarkan capaian hasil UN tersebut, ke-64 kabupaten/kota ini diasumsikan memiliki inovasi dalam layanan pendidikan. Hasilnya, mayoritas mereka tidak bersedia melayani wawancara via telepon. Artinya, “inovasi” yang mereka lakukan, kalau ada, tidak bisa diketahui untuk bahan pembelajaran kebijakan bagi daerah lain atau evaluasi kebijakan mereka sendiri. Memang masih jarang terdengar pemerintah daerah yang berani berinovasi dalam pengelolaan layanan pendidikan. Kebanyakan mereka berpikir dan bekerja rutin melaksanakan kebijakan pusat seperti yang berlangsung selama puluhan tahun.
2.Akar Masalah Pendidikan yang Sesungguhnya
Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi menyambut baik rencana Mendikbud Nadiem yang ingin mereformasi sistem pendidikan melalui program Merdeka Belajar. Lebih lanjut dikatakan Unifah, hal yang sangat penting untuk dilakukan adalah menyiapkan guru dan siswanya. Terkait wacana penerapan asesmen kompetensi minimum sebagai pengganti UN, hal ini tentu membutuhkan pedoman yang matang. Jika diterapkan, sistem ini akan sangat tergantung pada kreativitas guru. Sejauh ini guru belum memahani betul apa yang dimaksud asesmen kompetensi minimum sehingga perlu ada penjelasan yang rinci terkait hal itu. Hal ini penting dilakukan, agar tak ada “penyimpangan” antara pusat dan daerah dalam pelaksanaan. Di lapangan, sepanjang dilaksanakan UN, setiap daerah memiliki permasalahan yang beragam. Oleh karenanya, masing-masing daerah harus dilakukan perlakuan yang berbeda.
Satu lagi, pekerjaan rumah yang mendesak ialah meningkatkan kompetensi guru secara merata. Keberhasilan program Merdeka Belajar akan sangat ditentukan oleh kompetensi guru yang kondisinya saat ini belum merata. Hasil uji kompetensi guru (UKG) menunjukkan lebih dari 50% guru yang mengikuti UKG tidak mencapai skor kelulusan. Mengurai permasalahan pendidikan di Indonesia salah satunya harus dimulai dengan membereskan masalah kompetensi guru ini.
3.Implikasi Kebijakan Merdeka Belajar terhadap Kebijakan Diklat
Dari beberapa permasalahan yang telah diuraikan di atas, peningkatan kompetensi guru nampaknya yang paling bersinggungan dengan Balai Diklat Keagamaan sebagai unit pelaksana teknis di bidang kediklatan. Beberapa implikasi kebijakan Merdeka Belajar terhadap kebijakan Pendidikan dan Pelatihan dapat diuraikan sebagai berikut.
- Otonomi dalam Pengembangan Kurikulum dan Silabus.
Jika satuan pendidikan dan tenaga pendidiknya diberi kemerdekaan dalam mengembangkan kurikulumnya maka sudah seharusnya Balai Diklat juga diberi kebebasan dalam memodifikasi kurikulum dan silabus yang digunakan dalam penyelenggaraan diklat. Seperti diketahui dalam penyelenggaraan sebuah kegiatan diklat, Balai Diklat harus menggunakan dan berpedoman pada kurikulum dan silabus yang diterbitkan oleh Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan atau Pusdiklat Tenaga Administrasi. Hal ini menjadi tidak relevan karena kebutuhan dan input di masing-masing wilayah kerja Balai Diklat berbeda-beda. Contoh nyata adalah kurikulum dan silabus untuk Diklat Teknis Substantif Media Pembelajaran Berbasis TIK. Bagi sebagian besar guru di perkotaan yang sudah terbiasa dengan teknologi informasi mungkin mata diklat-mata diklat yang ada pada diklat tersebut sangat dibutuhkan dan sangat relevan dengan kebutuhan pembelajaran di satuan pendidikannya. Tetapi bagian sebagian guru yang di pelosok mungkin menjadi kontra produktif. Jangankan membahas dampak dan manfaatnya, selama proses kediklatannya pun sudah akan mengalami banyak kendala. Misal, banyak guru atau peserta diklat yang masih sangat awam memegang laptop sehingga otomatis pengetahuan dan keterampilan si guru dalam mengoperasikan laptop juga masih sangat minim. Yang kedua terkait dengan jaringan. Seringkali ketika diklat dilaksanakan di daerah pelosok kita mengalami masalah dalam hal jaringan atau koneksi internet, padahal beberapa mata diklat tertentu mengharuskan kita terhubung dengan internet. Biasanya yang terjadi adalah peserta diklat hanya menerima materi pengetahuan saja, sedangkan praktik dan keterampilan tidak tersampaikan karena kendala teknis tadi. Hal ini tentu sangat berpengaruh pada pencapaian tujuan pembelajaran yang jauh dari kata efektif dan efisien.
- Penilaian yang komprehensif.
Selama kegiatan diklat, semua pihak yang terlibat dalam kegiatan diklat diberikan kesempatan untuk saling menilai. Penyelenggara diklat dan widyaiswara menilai peserta diklat, dan sebaliknya peserta diklat juga diberi kesempatan menilai panitia penyelenggara dan widyaiswara selaku pengajar di diklat.
Pakar evaluasi Kirkpatrict mengatakan bahwa terdapat empat (4) level dalam penilaian hasil diklat. Level 1 adalah reaksi, yaitu mengukur hasil diklat dari reaksi peserta diklat terhadap kegiatan diklat, seperti reaksi peserta diklat terhadap panitia penyelenggara, widyaiswara yang mengajar, materi diklat, dan lain sebagainya. Level 2 adalah learning, yaitu mengukur apa saja yang telah dipelajari dan didapat oleh para peserta dari kegiatan diklat. Pengukuran dilakukan terhadap aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan peserta diklat, yaitu sejauh mana peserta diklat mendapat tambahan pengetahuan, keterampilan dan sikap setelah mengikuti diklat. Level 3 adalah transfer, yaitu seberapa jauh sikap dan perilaku para peserta berkembang setelah menerima diklat. Hal ini dapat lebih spesifik terlihat dalam bagaimana mereka mengaplikasikan informasi dan materi yang mereka dapatkan. Dan level 4 adalah result. Dari semua tingkatan, mengukur hasil akhir dari pelatihan ini kemungkinan akan menjadi yang paling mahal dan memakan waktu. Tantangan terbesar adalah mengidentifikasi hasil, manfaat, atau hasil akhir yang paling terkait erat dengan pelatihan, dan menghasilkan cara yang efektif untuk mengukur hasil ini dalam jangka panjang.
Dari keempat level evaluasi tersebut, sudah seharusnya penekanan lebih diprioritaskan pada transfer dan result. Penyelenggara diklat jangan sampai terjebak dengan hasil evaluasi level 1 dan 2 yang seringkali hanya fatamorgana. Budaya timur yang masih penuh dengan ewuh pakewuh juga turut memberikan andil pada penilaian yang tidak semestinya. Balai Diklat sebagai penyelenggara kediklatan perlu melakukan evaluasi level 3 dan 4 paska 6 bulan diklat. Balai Diklat perlu melihat secara langsung transfer dan result dari alumni paska diklat kepada pimpinan, teman sejawat, siswa dan dirinya selaku alumni. Pada level inilah kita bisa mengetahui kontribusi nyata diklat bagi user/pengguna.
- Diversifikasi diklat
Diklat konvensional yang selama dilaksanakan ditinjau dari segi pembiayaan dan jumlah sasaran sangat terbatas jumlahnya, artinya dengan biaya yang cukup besar tapi sasaran yang bisa didiklat hanya 30 orang untuk yang di kampus dan 40 orang untuk diklat yang di wilayah kerja. Sedangkan jumlah pegawai di lingkungan Kementerian Agama sangat banyak, sangat tidak mungkin hanya mengandalkan diklat konvensional. Terlebih dengan adanya Peraturan Kepala LAN No 10 tahun 2018 tentang Pengembangan Kompetensi ASN yang menyatakan hak dan kesempatan yang sama untuk semua ASN dalam mengikuti pengembangan kompetensi berupa workshop, bimtek, diklat atau kegiatan lain dalam rangka peningkatan kompetensi dirinya. Salah satu alternatif solusinya adalah diversifikasi diklat.
Diversifikasi diklat adalah salah satu bentuk inovasi dan kreativitas dalam hal penyelenggaraan diklat. Diklat tidak lagi harus berbentuk tatap muka dan pembiayaan sepenuhnya berasal dari DIPA Balai Diklat. Maka lahirlah diklat jarak jauh (DJJ), dimana seluruh kegiatan diklat dari mulai pendaftaran peserta, proses pembelajaran, dan ujian atau evaluasi dilaksanakan secara online/daring. Bila dibandingkan dengan diklat konvensional tentu saja diklat ini jauh lebih efisien dari sisi anggaran karena Balai Diklat tidak lagi mengeluarkan anggaran untuk akomodasi peserta, transportasi, dan uang saku peserta yang nilainya cukup besar. Sehingga ke depan perlu diperbanyak jumlah DJJ agar semakin banyak pegawai Kementerian Agama yang bisa didiklat. Yang kedua adalah diklat kerjasama. Berbeda dengan diklat konvensional yang pembiayaannya ditanggung oleh Balai Diklat, diklat kerjasama adalah kegiatan diklat yang pembiayaannya ditanggung oleh pihak yang meminta diklat/user. Meskipun pembiayaan ditanggung oleh pihak yang meminta diklat, namun kurikulum dan silabus, pemateri atau widyaiswara, serta sertifikat tetap dari Balai Diklat. Hal ini dirasa sangat baik karena dapat memperpendek siklus diklat bagi setiap pegawai. Khusus bagi pegawai Kementerian Agama di wilayah kerja BDK Denpasar saja masa siklus bagi pegawai untuk mendapatkan diklat adalah sekitar 5-6 tahun sehingga akan sangat lama bagi pegawai untuk dapat meng-upgrade kompetensinya kalau hanya mengandalkan panggilan diklat dari BDK. Dengan adanya diklat kerjasama pihak madrasah, KKM, KKG, atau MGMP bisa kapan saja mengecas kompetensi sumber daya manusia yang ada di lingkungan kerjanya. Terlebih bagi guru-guru, perubahan dan perkembangan kurikulum yang sangat cepat memaksa mereka harus terus update informasi agar apa pun yang mereka sajikan tetap factual dan aktua
C. Penutup
Permasalahan mendasar kualitas Pendidikan di Indonesia adalah rendahnya kualitas kompetensi guru-gurunya. Sehingga sebelum membereskan aspek lain dari pendidikan, aspek kualitas guru-guru inilah yang harus tuntas terlebih dahulu. Balai Diklat Keagamaan Denpasar yang merupakan unit pelaksana teknis di bidang Pendidikan dan pelatihan memiliki tanggungjawab dalam meningkatkan mutu kualitas guru-guru yang berada di bawah naungan Kementerian Agama, baik mereka guru PNS maupun yang Non PNS. Balai Diklat harus lebih responsif dalam menyikapi kebijkan Mendikbud Nadiem Makarim serta turut menyukseskan Merdeka Belajar, baik itu Merdeka Belajar bagi peserta didik maupun Merdeka Belajar bagi guru-gurunya.
Daftar Pustaka
Syaikhu Usman. 2020. Yang kurang dari kebijakan `Merdeka Belajar` Menteri Nadiem: perlunya libatkan keluarga dan pemerintah daerah. Diakses dari http://www.gresnews.com/berita/the_conversation/117764-yang-kurang-dari-kebijakan-merdeka-belajar-menteri-nadiem-perlunya-libatkan-keluarga-dan-pemerintah-daerah/
Syailendra Persada. 2020. Nadiem Makarim: Merdeka Belajar adalah Kemerdekaan Berpikir. Diakses dari https://nasional.tempo.co/read/1283493/nadiem-makarim-merdeka-belajar-adalah-kemerdekaan-berpikir/full&view=ok
Yohanes Enggar Harususilo .2020. "Ini Konsep Baru UN dan USBN Versi "Merdeka Belajar" Mendikbud Makarim", https://edukasi.kompas.com/read/2019/12/11/14433351/ini-konsep-baru-un-dan-usbn-versi-merdeka-belajar-mendikbud-makarim?page=all#page2.
Yohanes Enggar Harususilo. 2020. "Gebrakan "Merdeka Belajar", Berikut 4 Penjelasan Mendikbud Nadiem", https://edukasi.kompas.com/read/2019/12/12/12591771/gebrakan-merdeka-belajar-berikut-4-penjelasan-mendikbud-nadiem?page=all